Air 'Kenteng Pitu' Gunung Lancung,
Dipercaya Sebagai Syarat Permohonan dan Penyembuhan
Oleh: Edi Padmo
Cerita ini saya dapatkan dari Mbah Satino. Pria sepuh berumur 72 tahun ini adalah pemilik tanah Gunung Lancung. Dia adalah pensiunan PNS yang mengisi masa pensiun dengan menjadi Takmir masjid di Padukuhan Susukan, Kalurahan Genjahan, Kapanewon Ponjong. Mbah Satino dikenal sebagai seorang 'sesepuh' atau tokoh spritual. Dengan peci hitam dan baju surjan lurik, teken/tongkat serta tasbih yang tak lepas dari tangannya, siang itu mbah Satino mengantar kami ke lokasi 'Kenteng Pitu'.
Setelah melalui perjuangan yang lumayan menguras tenaga, sampai juga kami di puncak bukit Gunung Lancung. Dalam rimbunnya belukar, kami menemukan apa yang dicari, yaitu 'Kenteng Pitu'. Wujud dari 'kenteng' ini adalah 'clowokan' atau lubang-lubang batu yang berisi air.
Dalam bahasa jawa 'kenteng' memang diartikan sebagai tempat air. Tapi 'kenteng' yang berada di atas bukit/gunung Lancung ini memang agak berbeda. Lubang- lubang batu yang bentuknya hampir sama, berjumlah 7, semuanya berisi air dan letaknya saling berdekatan.
Diameter dan kedalaman lubang rata rata 50 sampai 70 cm. Dilihat dari dekat. tampak batuan berlubang ini bukan buatan manusia. Tidak ada tanda tanda atau bekas alat yang dipakai untuk membuatnya. Semua tampak alami dan jika lubang lubang ini memang hasil buatan tangan manusia maka bisa dipastikan usianya tentu sudah sangat purba.
"Saat kemarau, airnya juga tidak kering, entah dari mana sumbernya," terang mbah Satino
Ia kemudian mengkisahkan cerita tutur dari leluhurnya, bahwa keberadaan Kenteng Pitu berkaitan dengan peninggalan para wali atau sunan di masa-masa dulu.
"Kenteng Pitu, juga erat kaitannya dengan asal usul nama desa Bedoyo dan sekitarnya," lanjutnya.
Dari puncak gunung Lancung, selepas mata memandang tampak bukit-bukit lainnya berjajar dan berselang seling membentuk landscape di wilayah Kapanewon Ponjong, Gunungkidul. Beberapa puncak bukit tampak memutih karena ditambang. Suara alat berat kadang terdengar samar sampai di telinga, bercampur suara angin, dan mesin kendaraan bermotor yang lewat.
"Ceritanya, dulu ada seorang wali bergelar Syech Maluya. Wali ini mendengar bahwa di daerah ini tidak ada air, dan beliau berniat untuk membantu mengusahakan air bagi masyarakat," ujar mbah Satino mengawali ceritanya.
Pada suatu malam yang telah ditentukan, lanjut mbah Satino, Syech Maluya memulai ikhtiarnya untuk mencari air dengan cara melubangi batu-batu dengan menggunakan batang pohon Pule Merah dan pohon Kelor hingga berjumlah tujuh lubang.
"Namun sayang, karena suatu hal upaya ini ternyata gagal, sebelum ritual selesai sudah terdengar ayam jantan yang berkokok pertanda fajar pagi sudah menjelang," lanjutnya.
Karena malam sudah menjelang pagi, dan air belum juga mengalir seperti yang diharapkan, maka Syech Maluya kemudian berujar...."Oalah....lha bedo"(oalah ternyata gagal). Arti kata"bedo"(gagal) inilah menurut cerita mbah Satino akhirnya menjadi nama desa Bedoyo.
Meskipun dianggap.gagal, upaya melubangi batu untuk mencari air oleh Syech Maluya menyisakan lubang/kenteng berjumlah tujuh yang saat ini dikenal sebagai 'Kenteng Pitu. Dan sampai sekarang, meski air yang berada di dalam kenteng tidak bisa mengalir keluar, tapi air dalam lubang selalu ada, bahkan saat di musim kemarau.
Saya juga sempat membasuh muka dan mengambil air dari dalam kenteng. Lumut halus dan beberapa hewan 'kecebong' (anak katak), tampak hidup dalam air 'kenteng'.
Menurut Mbah Satino, banyak yang percaya bahwa air didalam 'kenteng' ini bisa dipakai untuk berbagai syarat atau sarana hajat atau suatu permohonan. Terutama untuk upaya penyembuhan berbagai macam penyakit. Tapi dengan cepat ia juga menambahkan, bahwa terkait hal ini, semua hanya sekedar ikhtiar. Air kenteng hanya sebagai syarat atau sarana. Untuk yang mengabulkan permohonan, semua adalah kuasa Tuhan.
"Ya, namanya juga ikhtiar, seperti Syech Maluya yang juga berikhtiar untuk mencari air, kendati tidak berhasil sempurna, tentu sedikit banyak ikhtiar ini ada hasilnya. Termasuk orang orang yang mengambil air ini untuk upaya penyembuhan, ini hanya sekedar sarana karena semuanya tergantung pada ketetapan Tuhan," kata mbah Satino lagi.
Saat matahari tepat diatas kepala, kami kemudian turun. Sayup terdengar suara Adzan berkumandang dari masjid dibawah. Obrolan kami teruskan di sebuah gubuk sederhana yang dibangun Mbah Satino untuk tempat istirahat bagi para tamu yang punya keperluan di Gunung Lancung
"Rencana saya akan membangun pondok sederhana di lokasi dekat kenteng, yang nantinya bisa digunakan 'riyadhoh' atau 'munajat', untuk mendekatkan diri kepada Tuhan," ujar mbah Satino mengakhiri obrolan kami.