Ditengah Tren Fomo Wisuda Siswa Yang Glamour, Justru Ini Yang Dilakukan Sebuah SD di Gunungkidul

Edi Padmo
0




Pendidikan(lain-sisi.com)-- Dunia pendidikan akhir-akhir ini sering diramaikan dengan euforia wisuda kelulusan siswa dengan gaya mewah nan gemerlap. Tradisi wisuda yang dulu hanya dikenal pada jenjang pendidikan tinggi tingkatan sarjana, kini marak dilakukan dari tingkat SMA, SMP, SD bahkan TK. 

Tempat dan acara wisuda juga tidak main-main. Panitia menyewa gedung pertemuan bahkan hotel berbintang untuk acara, yang tentu saja menelan biaya tidak sedikit. Ironisnya, pembiayaan akhirnya juga dibebankan kepada orang tua siswa atau wali murid, sementara kekuatan ekonomi dari masing masing orang tua berbeda, dan ini yang sering menjadi polemik. 

Sempat viral di media sosial, bagaimana kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang menentang acara-acara sekolah yang berbau hedon dan pemborosan. Alasan Gubernur yang sering disapa Kang Dedi ini jelas, tidak semua orang tua murid memiliki kemampuan ekonomi yang sama, dan acara wisuda ini justru tidak kena pada esensinya. Kebijakan Kang Dedi ini tentu menuai tanggapan dari berbagai pihak. Banyak yang setuju, ada pula yang menentang dengan berbagai argumentasi masing-masing

Dalam istilah bahasa kekinian fenomena ini mungkin yang sering disebut sebagai trend 'fomo'.  Fomo adalah singkatan dari Fear Of Missing Out, yang dalam bahasa Indonesia berarti takut ketinggalan. Fomo adalah perasaan cemas atau khawatir yang muncul ketika seseorang merasa bahwa orang lain sedang mengalami pengalaman yang menyenangkan atau sedang mengikuti suatu tren, sementara dirinya tidak ikut serta

*Cerita wisuda sederhana dari Gunungkidul*


Dari sebuah sudut terpencil Kapanewon Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, tepatnya di SD N Gunung Gambar, ada cerita tentang sebuah acara wisuda perpisahan siswa yang unik, sederhana tapi sarat akan makna. Di acara perpisahan ini, para siswa yang telah dinyatakan lulus, sejak pagi mereka memasak bersama di dapur sekolah. Kemudian, dengan beberapa lembar daun pisang, masakan disajikan untuk dimakan bersama (kembulan). Seluruh murid mulai dari kelas 1 sampai 6, para guru, kepala sekolah dan pegawai sekolah lainnya duduk bersama menikmati hidangan sambil bercengkerama akrab

Pagi itu, memang tidak ada tampilan yang istiméwa di lokasi SD N Gunung Gambar. Sekolah yang terletak di pegunungan sisi utara Gunungkidul ini termasuk wilayah pinggir dan terpencil sudut timur Gunungkidul. Tidak ada panggung pertunjukan atau kehormatan, tidak tampak tenda, kursi atau karpet merah yang digelar. Para murid dan guru tampak mengenakan pakaian adat Jawa. Semua duduk sejajar, melingkar dalam rasa syukur yang sama. Makan bersama itu menjadi perayaan yang membumi, yang justru menciptakan kedekatan yang tak tergantikan. Senyum lepas dan obrolan akrab antara para guru dan siswa. Wangi nasi hangat, dan suara renyah lele goreng yang baru saja diangkat dari wajan. Sebuah perayaan yang sederhana, namun begitu sarat makna.

"Ada empat siswa kelas VI yang menamatkan pendidikannya tahun ini. Dan mereka menyiapkan hidangan makan bersama sebagai ungkapan syukur dan cinta untuk seluruh warga sekolah," kata Purno Jayusman, Kepala Sekolah SD N Gunung Gambar

Acara sukuran ini menurut Purno Jayusman tidak diadakan serta merta, tapi para murid kelas VI memang sudah mempersiapkan sebelumnya. Ia menyebut, acara syukuran kelulusan ini terasa istimewa karena lele yang disantap bukan hasil beli, tapi hasil panen dari kolam kecil di halaman sekolah, yang mereka rawat dengan penuh dedikasi selama tiga bulan terakhir. Setiap pagi, siswa bergantian memberi pakan dan memastikan lele tumbuh sehat

"Kolam kecil itu kini bukan sekadar tempat memelihara ikan. Ia menjadi ruang belajar nyata tentang kerja keras, tanggung jawab, serta ketulusan. Pelajaran yang tak akan ditemukan di buku pelajaran, tetapi melekat di ingatan selamanya," kata Purno Jayusman terharu

Acara perpisahan ini menurut Purno juga dipersiapkan sendiri oleh murid-murid. Sejak pagi buta, keempat siswa kelas VI mulai menjaring lele. Mereka tertawa bersama, bercanda sembari menangkap ikan satu per satu. Usai ditangkap, ikan-ikan itu dibersihkan, lalu digoreng sendiri oleh tangan mungil mereka di dapur sekolah sederhana.

“Rasanya beda, karena kami yang merawat sendiri ikannya, kami juga yang masak. Jadi lebih bangga dan senang,” ujar Darma Hari Wisesa, salah satu siswa kelas VI yang lulus tahun ini, dengan wajah sumringah.


Bagi kepala sekolah dan para guru, perayaan ini adalah cerminan nilai pendidikan yang sesungguhnya. Menurut mereka, anak-anak di sekolah tidak hanya diajarkan ilmu akademik, tetapi juga nilai-nilai kehidupan seperti kebersamaan, kerja sama, dan kepedulian sosial.

"Acara ini bukan kami atau sekolah yang mewajibkan, tapi inisiatif para siswa sendiri sebagai bentuk rasa terima kasih. Mereka juga bilang acara ini sebagai tanda perpisahan setelah enam tahun belajar bersama, agar berkesan dan tak akan terlupakan," terang Purno Jayusman lagi

Disinggung soal fomo terkait perpisahan atau wisuda sekolah  yang sekarang sedang tren, Purno menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh murid-muridnya ini  justru jauh lebih bermanfaat ketimbang pesta mewah. 

"Para orang tua murid juga mendukung. Dari kegiatan ini,  anak-anak bisa belajar menghargai proses dan mencintai hasil dari jerih payahnya sendiri," lanjutnya lagi

Meski hanya acara sederhana, para murid tak hanya sekedar memasak dan menyajikan makanan. Di acara ini siswa juga belajar mengelola emosi, mengatur waktu, dan menyusun strategi agar makanan cukup untuk semua warga sekolah. 

"Para siswa merasakan sendiri bagaimana menjadi bagian dari sebuah tim kecil yang memiliki tanggung jawab besar," lanjut Purno Jayusman

Acara ini juga menjadi sarana menumbuhkan karakter positif. Dalam suasana santai, hangat, dan sederhana itu, tumbuh rasa kekeluargaan yang kuat antar siswa dan guru. Sebuah atmosfer yang kini mulai langka di banyak institusi pendidikan.

Kesederhanaan menjadi simbol dari perjuangan, kebersamaan, dan ketulusan yang selama ini dibangun di ruang belajar bernama sekolah. Sebuah ruang ceria dan banyak cerita tentang persahabatan, tanggung jawab dan cinta 

"Acara ini mungkin sederhana, namun meninggalkan jejak mendalam. Karena makan 'kembulan' (bersama) tersimpan pelajaran kehidupan yang tak ternilai harganya," pungkas Purno Jayusman

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!