Fenomena Sapi Makan Kambing Di Gunungkidul

LainSisi
0
Kemarau Panjang,
Fenomena Sapi Makan Kambing 
Banyak Terjadi Di Gunungkidul
( Oleh: Edi Padmo )

Kabar(lainsisi.com)-- Bagi masyarakat petani di Kabupaten Gunungkidul, hewan ternak adalah 'raja kaya'. Aset ini adalah tabungan berharga yang hanya akan digunakan/dijual untuk keperluan-keperluan penting. Misalnya, menyekolahkan anak, membeli tanah, biaya menikahkan anak, mencarikan pekerjaan, membangun rumah dan lain-lain.

Hampir di setiap rumah tangga petani, bisa dipastikan memelihara jenis hewan ternak, mulai dari ayam hingga sapi. Keberadaan mereka mendapat tempat istimewa, karena selain sebagai tabungan, kotoran hewan (kohe) akan dimanfaatkan untuk pupuk di lahan pertanian.

Untuk mencukupi kebutuhan Hijauan Makanan Ternak (HMT) di saat musim penghujan tentu bukan menjadi suatu masalah. Rumput-rumput liar dan budidaya banyak tumbuh subur. Belum tanaman komoditas pertanian, seperti jagung, kacang atau padi yang batang dan daunnya bisa digunakan untuk pakan ternak.

Namun, jika musim kemarau melanda, persoalan kelangkaan HMT mulai membayangi para petani. Terutama bagi petani yang memelihara sapi sampai beberapa ekor. Lahan pertanian yang kekurangan air membuat mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pakan bagi ternak-ternaknya. Mereka terpaksa harus membeli pakan dengan harga yang tidak murah. Selain pakan, kebutuhan konsentrat dan air (di beberapa wilayah Gunungkidul, warga harus membeli) menjadikan biaya 'ngopeni' (memelihara) ternak menjadi semaki tinggi.

Keadaan ini akhirnya membuat petani terpaksa menjual sebagian ternaknya untuk membeli pakan. Fenomena ini kemudian memunculkan istilah 'sapi mangan pedhet, sapi mangan wedhus' (sapi makan anak sapi, sapi makan kambing).

"Kemarin, saya terpaksa menjual 'pedhet' untuk membeli pakan dan konsentrat. Lha harus gimana lagi, kalau tidak dibiayai, sapi akan kurus atau rusak," kata Wiyono, warga Padukuhan Singkil, Kalurahan Giring, Kapanewon Paliyan, Gunungkidul, Senin, 25 September 2023.

Wiyono mengaku, sebelumnya ia memelihara 4 ekor sapi, tiga 'babu' (betina indukan) dan satu 'pedhet' (anakan). Setelah musim kemarau yang memang diprediksi agak panjang di tahun 2023 ini, Wiyono mulai kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pakan dan konsentrat buat sapi-sapinya. Dengan terpaksa ia kemudian menjual 'pedhet' untuk membeli persediaan HMT dan konsentrat.

"Kalau dihitung-hitung kalkulasinya, setiap hari satu ekor sapi membutuhkan biaya 25 ribu hingga 30 ribu rupiah. Memang secara hitungan tidak untung, tapi ya harus bagaimana lagi. Ternak adalah tabungan bagi petani seperti saya," lanjutnya.

Hal senada disampaikan oleh Slamet, warga Padukuhan Ngawu, Kalurahan Ngawu, Kapanewon Playen. Saat ini Slamet memelihara dua sapi indukan. Salah satunya tampak kelihatan sedang bunting.

"Saya sudah menjual tiga ekor kambing untuk membeli pakan," ungkapnya.

Senada dengan Wiyono, Slamet mengatakan jika memelihara sapi di musim kemarau memang berbiaya tinggi. Tetapi bagaimanapun, hewan ternak yang sudah dianggap sebagai 'raja kaya' atau aset tabungan para petani ini keberadaannya tetap dipertahankan.

"Kalau dijual sekarang harganya juga murah, 'sapi ora aji saiki neng pasar (harga sapi di pasar sekarang turun)," imbuhnya.

Kelangkaan HMT dan tingginya harga ini pada sisi lain ternyata mendatangkan keuntungan bagi para penjual hijauan pakan ternak di pinggir jalan.

Sukamto, warga Padukuhan Dengok, Kalurahan Dengok, Kapanewon Playen mengungkapkan hal ini. Sudah bertahun-tahun Sukamto menekuni profesi sebagai penjual pakan hijau di depan rumahnya yang terletak di pinggir jalan raya Playen - Obyek wisata Sri Gethuk.

"Kemarau ini permintaan pakan memang cukup tinggi. Saya sering kehabisan stok," kata Sukamto saat ditemui di depo miliknya.

Saat disinggung soal omset penjualan kotor, Sukamto menyebut angka 1,5 juta sampai 2 juta per hari.

"Tergantung stok pakan yang dikirim, kadang saya hanya kebagian jatah 150 bongkok (ikat) per hari, kadang juga lebih. Tapi untuk saat ini stok saya memang selalu habis ," lanjutnya.


Fenomena 'sapi mangan pedhet atau wedhus' ini memang menjadi siklus tahunan pada musim kemarau di Gunungkidul. Berbagai langkah dan inovasi sudah dilakukan, terutama tentang pembuatan cadangan pakan ternak. Salah satunya adalah teknik pengolahan pakan 'Silase'. Teknik ini dirasa paling tepat, karena dilakukan ketika stok pakan hijau para petani sedang melimpah saat musim penghujan.

Tapi, merubah kebiasaan petani memang tidak mudah. Mindset masyarakat yang memilih suatu hal yang praktis tanpa ribet menjadi kendala utama. Teknik pengolahan pakan sistem Silase memang memerlukan beberapa tahapan proses.

"Saya sudah mempraktekkan sistem Silase ini sejak sekitar 5 tahun yang lalu. Dan terbukti, di musim kemarau, stok pakan untuk ternak saya sangat terbantu," kata Amin Susilo, peternak kambing warga Kalurahan Sodo, Kapanewon Paliyan.

Cerita Amin, awalnya ia membayangkan bahwa pengolahan ini sangat ribet dan membutuhkan keahlian khusus. Tapi setelah mempraktekkan teknik pengolahan Silase ini, kata Amin sangat sederhana, mudah dan efisien.

"Yang paling sulit itu merubah pola pikir. Untuk menyikapi berbagai kendala seperti ini, petani dan peternak memang harus banyak belajar inovasi," pungkas peternak yang terbilang masih muda ini.



Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!