Budidaya Lidah Buaya Lahan Kering, Omzet Puluhan Juta

LainSisi
0
Budidaya Lidah Buaya Lahan Kering Gunungkidul,
Omzet Hingga Puluhan Juta
( Oleh: Topek Setyawan )



"Ini cerita tentang perjuangan seorang pemuda menantang jaman. Dengan keterbatasan sumber daya alam Gunungkidul, ia menciptakan inovasi budidaya dan produk pertanian dari tanaman lidah buaya."

Pertanian(lainsisi.com)-- Kabupatèn Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di Yogyakarta yang terkenal memiliki kondisi tanah tandus dan kering. Sejak dulu, stigma sebagai daerah kekurangan air sudah melekat bagi wilayah paling selatan DIY ini. Ciri morfologi kawasan karst Gunungkidul dengan topografi yang berbukit-bukit memunculkan ungkapan 'adoh ratu, cerak watu'.

Dengan kerasnya alam Gunungkidul, profesi bertani tentu bukan pekerjaan yang mudah. Tanah berbatu, lahan pertanian yang mayoritas tadah hujan dan keterbatasan air adalah tantangan yang harus dihadapi. Meski begitu, bidang pertanian masih menjadi andalan ekonomi daerah. Kerasnya alam juga berhasil membentuk karakter mental ulet dan semangat tak kenal menyerah dari para petani Gunungkidul.

Adalah Marcus Nanang Setyawan, warga Padukuhan Ngijorejo, Kalurahan Gari, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul. Sejak sekitar tiga tahun yang lalu, pemuda kelahiran 18 Maret 1997 ini berinovasi budidaya tanaman lidah buaya. Tak hanya budidaya, Nanang juga mengolah varietas ini menjadi produk siap saji seperti Nata de'aloevera, Wedang Lidah Buaya Instan, Permen Jelly Lidah Buaya, Teh Lidah Buaya dan lain-lain. Produksi olahan ini, dari proses produksi hingga pemasaran melibatkan masyarakat sekitar dan anak-anak muda, hingga tembus omzet kurang lebih sampai 20 juta per bulan.


"Saya dulu merantau ke Jakarta. Tahun 2018 saya memutuskan untuk kembali pulang ke kampung halaman," kata Nanang saat ditemui di kebun lidah buaya miliknya.

Ia bercerita, awalnya punya keinginan untuk memulai usaha mandiri saat melihat banyak warga di desanya yang merantau dan meninggalkan rumah hingga "suwung" (kosong).

"Saya mulai berpikir, usaha apa yang bisa menggerakkan ekonomi di desa tanpa harus merantau," lanjutnya.

Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya pada pertengahan tahun 2020, ia memulai usaha budidaya komoditas lidah buaya varietas jumbo. Pertimbangannya adalah, jenis komoditas ini belum banyak dikembangkan oleh para petani. Padahal, lidah buaya adalah jenis tanaman lahan kering yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan dan kecantikan.

Cerita Nanang, pertama kali ia menanam 1000 pohon, dan banyak orang mencibir "Lidah Buaya kok di tanam, mau buat apa?" ucap tetangga dan saudara-saudaranya.

Cibiran ini, menurutnya justru menjadi cambuk untuk membuktikan, bahwa dengan ketekunan dan keyakinan pasti akan merubah hidupnya dan ekonomi masyarakat sekitar menjadi lebih baik.

"Awalnya, saya ditipu oleh seseorang yang menjanjikan akan membeli hasil produksi saya. Namun ia menghilang tak bisa dilacak. Saya tetap tidak putus asa dan terus berinovasi membuat olahan dari lidah buaya. Harapannya ketika usaha ini saya pegang dari hulu sampai hilir, maka saya tidak tergantung orang lain untuk memasarkan hasil produksi," cerita Nanang panjang lebar.


Lidah Buaya yang dibudidayakan oleh Nanang adalah lidah buaya varietas jumbo jenis Chinensis Barker. Tumbuhan jenis ini adalah komoditas yang bisa masuk dalam banyak sektor, seperti sektor pertanian, kosmetik, farmasi, bahkan olahan makanan dan minuman.


Awal usaha, Nanang hanya hanya membuat produk Nata De'aloevera. Setelah mulai di kenal oleh masyarakat,di tahun 2021 ia mulai membuat produk Wedang Lidah Buaya Instan. Selanjutnya muncul produk baru, seperti Permen Jelly Lidah Buaya. Dan mulai tahun 2023, produk olahan lidah buaya dengan branding 'Marvera' milik Nanang sudah semakin di kenal masyarakat. Pemasaran produk tidak hanya di sekitar Gunungkidul dan Yogyakarta, tapi mulai merambah daerah Jabodetabek, Bali, Kalimantan hingga ke Malaysia.


Nanang memang menggunakan strategi marketing dengan memanfaatkan teknologi media sosial (digital marketing). Ia juga rajin untuk mengikuti berbagai event pameran, baik lokal maupun nasional.

Tidak hanya itu, untuk legalitas usaha produksi olahan lidah buaya juga sudah berbadan hukum. PT Marvera Aloevera Industry dan juga ijin produk Dinkes P-IRT, Halal dan juga HKI MerekMerek. Hal ini menjadikan kepercayaan masyarakat menggunakan produk Marvera semakin meningkat.

"Alhamdulillah, saat ini saya memilki 4 karyawan di produksi dari ibu-ibu sekitar dan 3 anak muda di bagian digital marketing. Saya juga memberdayakan Karangtaruna, kelompok-kelompok tani, PKK, Dasawisma untuk membudidayakan dan mengolah Lidah Buaya Jumbo dan mengolahnya. Hingga saat ini saya sudah mendampingi lebih dari 3 kelompok yang beranggotakan 50 orang," kata Nanang.


Cerita keuletan Nanang dengan inovasinya adalah sebuah inspirasi. Dunia pertanian yang sejatinya sangat vital dan mendasar untuk mencukupi kebutuhan pangan umat manusia, saat ini memang dipandang sebagai profesi 'pepetan' karena tidak bergengsi. Regenerasi petani akhirnya menjadi masalah serius di dunia pertanian negara kita. Pertanian menyisakan tenaga-tenaga tua, para petani 'wutun' yang tentu sudah sangat terbatas tenaga dan daya inovasinya.

Dibutuhkan banyak petani muda yang harus mengantikan peran ini. Petani muda yang paham tentang teknologi, inovasi, kreativitas dan manajemen pertanian. Hal ini juga akan mampu menjadi daya tarik generasi muda untuk tidak malu menekuni profesi sebagai petani.

Dan Nanang sedikit banyak sudah membuktikan hal ini. Inovasi pertanian lidah buaya yang ia rintis adalah bukti bahwa tanah Gunungkidul yang kering dan tandus ternyata bukan halangan untuk inovasi pertanian dengan prospek ekonomi yang menjanjikan.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!