GUNUNGKIDUL – Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 di Kabupaten Gunungkidul memasuki hari-hari terakhir penyelenggaraan. Sebelum ditutup, FKY menggelar salah satu kegiatan bertajuk Jelajah Budaya Lokakarya Gunungkidulan. Salah satunya praktik pembuatan Nasi Thiwul yang berlangsung di rumah Ibu Sumijah di Padukuhan Mbareng, Kalurahan Kemiri, Kapanewon Tanjungsari.
Sekitar 30 peserta dari masyarakat umum dan pelajar mengikuti kegiatan ini sebagai upaya FKY untuk mengangkat Thiwul, kuliner yang sangat dekat dengan adat dan tradisi pangan masyarakat Gunungkidul.
Koordinator kegiatan, Nurdin Febri Setyawan (Sonde), menjelaskan bahwa pemilihan Thiwul selaras dengan tema besar FKY 2025 yang mengusung soal adat istiadat dan tradisi.
“Tema kali ini yang dipilih adat istiadat. Membuat olahan Thiwul merupakan salah satu hasil budi dan daya masyarakat Gunungkidul dalam rangka menyediakan kebutuhan bahan pangan. Sudah jadi kebiasaan turun-temurun,” terang Nurdin.
Nurdin menambahkan, kebiasaan mengolah Thiwul masih eksis hingga kini, bahkan kembali populer sebagai olahan alternatif pengganti nasi beras. Dahulu, Thiwul yang berbahan dasar singkong menjadi menu utama masyarakat Gunungkidul.
Selain faktor historis, ketela (bahan dasar Thiwul) merupakan komoditas pertanian unggulan yang selalu ditanam saat musim hujan di kawasan selatan Gunungkidul. Hal ini menjadikan Thiwul sebagai simbol budaya yang sangat dekat dengan ekosistem lokal.
Proses praktik berlangsung seru dan interaktif. Ibu Sumihah dibantu tetangga kanan kirinya, dengan telaten menunjukkan seluruh tahapan pembuatan Thiwul: mulai dari menumbuk gaplek (singkong kering), napeni (membersihkan), nginthil (membentuk bulir), hingga proses pengukusan. Beberapa peserta terlihat kesulitan mengikuti tahapan demi tahapan, menunjukkan bahwa proses tradisional ini membutuhkan keahlian.
Usai Thiwul matang, seluruh peserta diajak menikmati hasil olahan mereka secara bersama-sama.
“Sekalipun jarang, saya sudah akrab kalau makan Thiwul, hanya saja belum pernah praktik membuat Thiwul. Ini pengalaman yang sangat berharga,” ujar salah satu peserta loka karya, Arif Prasetyo.
Melalui kegiatan ini, FKY 2025 di Gunungkidul berhasil menempatkan Thiwul tidak hanya sebagai warisan kuliner, tetapi juga sebagai cerminan nyata dari etos kemandirian masyarakat yang terangkum dalam filosofi "Adoh Ratu Cedhak Watu".
Thiwul, yang dulunya adalah "makanan orang desa" saat harga beras melambung, kini naik pangkat menjadi simbol kearifan. Ia adalah bukti tentang bagaimana masyarakat Gunungkidul, yang secara geografis "jauh dari raja," mampu bertahan dan mandiri dengan mengolah apa yang "dekat dengan batu" yaitu singkong yang tumbuh subur di tanah karst.
