"Udan, Udan, Udan"
Doa Warga Giripurwo
Saat Menggelar Upacara Adat 'Njaluk Udan'
Oleh: Edi Padmo
Budaya(lainsisi.com)-- Musim penghujan yang tak kunjung tiba membuat berbagai wilayah di Indonesia mengalami bencana kekeringan. Begitupun yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Kekeringan yang seakan menjadi siklus tahunan di kabupaten terluas DIY ini.semakin parah karena di tahun 2023 ini musim kemarau lebih panjang.
Banyak warga di berbagai wilayah Gunungkidul terpaksa membeli air untuk mencukupi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Beruntung jika ada bantuan air dari pemerintah maupun donatur swasta. Jika tidak ada, atau belum tersasar, maka warga terpaksa membeli air dengan uangnya sendiri. Harga per tangki bervariasi, tergantung medan jalan untuk sampai lokasi. Jika medan sulit, maka harga per tangki bisa sampai 150-450 ribu rupiah.
Jumat Kliwon, tanggal 6 Oktober 2023, puluhan warga Kalurahan Giripurwo, Kapanewon Purwosari, Gunungkidul, menggelar upacara adat 'Njaluk Udan' (meminta hujan). Hal ini dilakukan karena kekeringan yang melanda di wilayah Giripurwo dirasa semakin memprihatinkan.
"Untuk kebutuhan sehari-hari, kami terpaksa membeli air. Ini belum termasuk kebutuhan air untuk hewan ternak kami," kata Kusno, salah seorang warga yang ikut upacara adat, Jumat (6/10/2023).
Tidak adanya hujan dari bulan Juni kemarin memang membuat warga kelimpungan. Pasalnya, ladang pertanian yang menjadi andalan penghasilan mereka menjadi kering kerontang tak bisa ditanami.
"Jangankan air untuk pertanian, untuk membeli air buat kebutuhan sehari-hari kami sudah merasa berat," lanjut Kusno.
Keadaan inilah yang membuat Margono, Kepala Dusun setempat berinisiatif untuk mengajak warga melakukan upacara adat 'Njaluk Udan'.
"Upacara ini adalah kearifan lokal masyarakat kami. Simbah-simbah dahulu melakukan hal ini ketika kemarau berkepanjangan. Kami memohon kepada Tuhan, agar segera menurunkan hujan dan bencana kekeringan ini akan segera berakhir," terang Margono.
Lebih lanjut ia menerangkan, bahwa tampungan air yang dimiliki warga di setiap rumah, mulai.mengering sejak bulan Agustus kemarin. Untuk mencukupi kebutuhan air, warga akhirnya membeli tangki air dengan harga 150 ribu per tangki kapasitas 5000 liter.
"Rata-rata air segitu hanya cukup digunakan sekitar 2 minggu. Setelah itu ya harus beli lagi," lanjutnya.
Karena tanda tanda musim penghujan tak kunjung tiba, maka Margono kemudian berembuk dengan warga dan memutuskan untuk melakukan upacara adat 'Njaluk Udan'. Upacara dilakukan di sebuah bukit di wilayah mereka. Tempat ini diyakini warga dulunya merupakan tempat keramat, tokoh 'cikal bakal' atau leluhur yang bernama Mbah So Dinomo.
"Ritual yang kami lakukan, sudah turun temurun. Ini semata adalah wujud permohonan kami kepada Tuhan Yang Maha Kuasa," tegas Margono.
Setelah warga berkumpul, dengan membawa berbagai 'ubarampe' atau syarat, prosesi upacara di mulai oleh 'rois' (kaum) tokoh agama setempat yang memimpin doa. Saat sang Rois sampai pada akhir doa , semua peserta upacara kompak berteriak-teriak "hujan, hujan, hujan, hujan", dan diakhiri dengan kata 'amin'.
Prosesi kemudian dilanjutkan dengan kenduri bersama yang dipimpin oleh sesepuh desa. Setelah kenduri, warga dan seluruh peserta kemudian 'kembul bujana' atau makan bersama sambil beramah-tamah.
"Upacara adat ini, selain untuk sarana meminta hujan, juga sebagai ajang bagi seluruh warga untuk silaturahmi, mempererat kerukunan menghadapi masa yang sulit seperti ini," pungkas Kepala Dukuh.