Fenomena El Nino
dan Siklus Empat Tahunan
Fenomena(lainsisi.com)-- Saat ini sebagian besar wilayah di Indonesia sedang mengalami musim kemarau. Musim ini adalah siklus yang terjadi berulang di setiap tahunnya bergantian dengan musim penghujan. Pada bulan September musim kemarau sedang berada pada puncaknya. Dengan efek cuaca terasa panas dan udara begitu kering, namun akan terasa amat dingin ketika malam hari tiba. Ditambah kabut yang menyelimuti cakrawala pada malam dini hari.
Pada tahun 2023, karena pengaruh El Nino, kemarau yang terjadi termasuk kemarau panjang. Sejak sekitar Bulan Juni, hingga memasuki Bulan Oktober, sudah hampir lima bulan, hujan tak kunjung turun. Efek kering musim kemarau diperparah dengan adanya fenomena 'Equinok', yakni peristiwa astronomi dimana Matahari melintasi garis khatulistiwa. Saat siang hari, cuaca benar-benar terasa kering dan panas. Suhu udara bisa mencapai kisaran 33 sampai 34 derajad celcius.
Kabar tentang bencana kekeringan, saat ini marak kita lihat di berbagai wilayah di Indonesia. Apalagi pada daerah yang memang sejak dulu terkenal sebagai daerah rawan kekeringan. Misalnya Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Pada tahun 2023 ini, Pemerintah Daerah Gunungkidul menetapkan status siaga darurat kekeringan, pada 14 wilayah dari 18 kapanewon di wilayahnya.
Dampak kekeringan ini, juga berimbas besar pada sektor ekonomi sosial masyarakat yang sebagian besar bergerak disektor agraris. Keringnya lahan pertanian, membuat para petani sulit untuk mendapat pemasukan. Sementara, kebutuhan sehari-hari harus terus dicukupi. Sawah ladang yang mengandalkan tadah hujan, kering kerontang. Jangankan air untuk budidaya pertanian, banyak warga masyarakat yang terpaksa membeli air untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Jika kita amati lebih jauh, keadaan ini sebenarnya adalah bagian dari sebuah siklus alam. Sebuah keadaan atau kejadian alam yang selalu terulang dalam skala waktu tertentu. Layaknya perputaran 'cakra' (roda) waktu semesta. Bumi berputar, Bulan mengelilingi Bumi, Bumi mengitari Matahari, dan segala hal yang bersifat konstan dan berulang atas kuasaNya.
Leluhur dengan ilmu 'titen' (mengamati) dan memberikan pengertian bahwa keadaan apapun didunia ini bersifat 'owah gingsir' (tidak kekal). Termasuk tentang musim atau siklus alam yang selalu terulang. Mereka mempunyai kalender musim yang disebut 'pranata mangsa'. Sebuah ilmu yang berdasar pada pengamatan terhadap fenomena atau tanda-tanda alam yang terjadi.
'Pranata mangsa' adalah rumusan ilmu 'titen' yang digunakan oleh masyarakat petani dalam menghitung kalender musim. Berdasar tanda alam, penentuan musim ditetapkan, menjadi kebiasaan yang dilakukan dan menjadi pengetahuan secara turun temurun. Diajarkan melalui cerita tutur dan pemahaman. yang kemudian menjadi dasar dalam menentukan musim tanam dalam bertani. Selain itu pengetahuan tersebut juga dicatat oleh orang jawa khususnya dalam bentuk serat/catatan yang tersusun dan terhimpun sejak jaman dulu. Salah satu serat yang memuat pengetahuan tersebut berupa 'Serat Suluk Gatoloco'.
Pada tulisan ini, saya akan sedikit mengulas tentang fenomena El Nino dan hubungannya dengan 'pranata mangsa' (kalender musim) dalam ilmu 'petung Jawa'. Tapi sebelumnya, sedikit kita pahami bersama tentang fenomena El Nino yang saat ini sedang terjadi.
El Nino adalah fenomena cuaca yang terjadi akibat peningkatan suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik. Suhu menjadi lebih hangat dari biasanya yang mengakibatkan pengurangan udara basah di sekitarnya, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kenaikan suhu. Hal ini berdampak luas pada pola cuaca secara global, termasuk di wilayah Indonesia. Fenomena El Nino mengakibatkan penurunan curah hujan, dan karena berbareng dengan musim kemarau, maka musim kering menjadi lebih panjang.
Melansir keterangan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), fenomena alam El Nino sudah beberapa kali terjadi di Indonesia. Tercatat tahun 2015, El Nino terjadi dengan intensitas kuat, empat tahun kemudian, di tahun 2019 kembali terjadi meski dengan intensitas lemah.
Dalam ilmu 'petung Jawa', ada hitungan 'windu'. Satu windu terdapat 8 tahun yg masing-masing memiliki nama tersendiri yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakhir. Sedangkan setiap 8 tahun berganti windu dan dalam 4 windu yakni Windu Adi, Kuntara, Sengara dan Windu Sancaya.
Dalam satu windu ada 2 kali siklus 4 tahunan, dimana dalam 4 tahunan itu terdapat satu tahun basah dan satu tahun kering. Nah, dalam satu tahun kering itulah terjadi fenomena yang dijaman modern disebut fenomena El Nino. Hal ini cocok dengan catatan BMKG, dimana El Nino terjadi dalam skala empat tahunan, tahun 2015, 2019, dan sekarang 2023.
Dalam serat sastra jawa kuno Serat Sastra Gatoloco, yang berbentuk kesenian 'suluk', adalah primbon berisi tentang ramalan kehidupan manusia dari lahir sampai mati. Selain siklus kehidupan manusia, Serat Gatoloco juga memuat siklus perubahan alam. Orang jawa menganut ilmu 'titen' yaitu 'niteni' (mengamati) gejala perubahan alam yang terjadi.
Siklus akan terulang 8 tahun sekali sesuai dengan urutan tahun. misalnya tahun 2021 memiliki nama tahun 'Ehe' mengalami musim murah air. Pada tahun 'Je Windu Sengara' maka curah hujan akan tinggi.
Membahas ilmu 'petung Jawa' memang tidak mudah, karena sangat 'njlimet' (cermat dan teliti). Tulisan ini memang belum seberapa, hanya sedikit sekali dari luas dan dalamnya ilmu Jawa. Leluhur memang telah merumuskan segala hal tentang alam dan kehidupan secara detail dan akurat.
Ilmu 'petung jawa' dan 'pranata mangsa' dirumuskan oleh leluhur kita untuk upaya mitigasi keadaan/cuaca sulit yang harus dihadapi. Salah satu implementasi nyata adalah budaya 'lumbung pangan'. Suatu budaya yang sekarang sudah sangat jarang ditemukan di desa-desa wilayah Gunungkidul. Saat ini, lumbung pangan lebih bersifat milik pribadi, sedangkan pada jaman dulu keberadaan lumbung bersama adalah wujud dari kerukunan sosial warga desa.
'Pranata mangsa' juga wujud dari hasil kebudayaan agraris masyarakat Jawa. Budaya pertanian 'adiluhung' yang menempatkan alam sebagai ruang hidup bersama yang harus selalu dirawat dan dijaga kelestariannya untuk diwariskan kepada anak cucu nanti.
Dengan keadaan krisis iklim global yang terjadi saat ini, alangkah baiknya kita kembali mengulik dan belajar kembali ilmu warisan leluhur. Dengan itu, langkah dan sikap yang kita ambil akan mempertimbangkan hitungan 'petung jawa' dan kearifan lokal sebagai salah satu referensi, sehingga dampak kerusakan alam tidak semakin buruk.
Pada tahun 2023, karena pengaruh El Nino, kemarau yang terjadi termasuk kemarau panjang. Sejak sekitar Bulan Juni, hingga memasuki Bulan Oktober, sudah hampir lima bulan, hujan tak kunjung turun. Efek kering musim kemarau diperparah dengan adanya fenomena 'Equinok', yakni peristiwa astronomi dimana Matahari melintasi garis khatulistiwa. Saat siang hari, cuaca benar-benar terasa kering dan panas. Suhu udara bisa mencapai kisaran 33 sampai 34 derajad celcius.
Kabar tentang bencana kekeringan, saat ini marak kita lihat di berbagai wilayah di Indonesia. Apalagi pada daerah yang memang sejak dulu terkenal sebagai daerah rawan kekeringan. Misalnya Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Pada tahun 2023 ini, Pemerintah Daerah Gunungkidul menetapkan status siaga darurat kekeringan, pada 14 wilayah dari 18 kapanewon di wilayahnya.
Dampak kekeringan ini, juga berimbas besar pada sektor ekonomi sosial masyarakat yang sebagian besar bergerak disektor agraris. Keringnya lahan pertanian, membuat para petani sulit untuk mendapat pemasukan. Sementara, kebutuhan sehari-hari harus terus dicukupi. Sawah ladang yang mengandalkan tadah hujan, kering kerontang. Jangankan air untuk budidaya pertanian, banyak warga masyarakat yang terpaksa membeli air untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Jika kita amati lebih jauh, keadaan ini sebenarnya adalah bagian dari sebuah siklus alam. Sebuah keadaan atau kejadian alam yang selalu terulang dalam skala waktu tertentu. Layaknya perputaran 'cakra' (roda) waktu semesta. Bumi berputar, Bulan mengelilingi Bumi, Bumi mengitari Matahari, dan segala hal yang bersifat konstan dan berulang atas kuasaNya.
Leluhur dengan ilmu 'titen' (mengamati) dan memberikan pengertian bahwa keadaan apapun didunia ini bersifat 'owah gingsir' (tidak kekal). Termasuk tentang musim atau siklus alam yang selalu terulang. Mereka mempunyai kalender musim yang disebut 'pranata mangsa'. Sebuah ilmu yang berdasar pada pengamatan terhadap fenomena atau tanda-tanda alam yang terjadi.
'Pranata mangsa' adalah rumusan ilmu 'titen' yang digunakan oleh masyarakat petani dalam menghitung kalender musim. Berdasar tanda alam, penentuan musim ditetapkan, menjadi kebiasaan yang dilakukan dan menjadi pengetahuan secara turun temurun. Diajarkan melalui cerita tutur dan pemahaman. yang kemudian menjadi dasar dalam menentukan musim tanam dalam bertani. Selain itu pengetahuan tersebut juga dicatat oleh orang jawa khususnya dalam bentuk serat/catatan yang tersusun dan terhimpun sejak jaman dulu. Salah satu serat yang memuat pengetahuan tersebut berupa 'Serat Suluk Gatoloco'.
Pada tulisan ini, saya akan sedikit mengulas tentang fenomena El Nino dan hubungannya dengan 'pranata mangsa' (kalender musim) dalam ilmu 'petung Jawa'. Tapi sebelumnya, sedikit kita pahami bersama tentang fenomena El Nino yang saat ini sedang terjadi.
El Nino adalah fenomena cuaca yang terjadi akibat peningkatan suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik. Suhu menjadi lebih hangat dari biasanya yang mengakibatkan pengurangan udara basah di sekitarnya, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kenaikan suhu. Hal ini berdampak luas pada pola cuaca secara global, termasuk di wilayah Indonesia. Fenomena El Nino mengakibatkan penurunan curah hujan, dan karena berbareng dengan musim kemarau, maka musim kering menjadi lebih panjang.
Melansir keterangan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), fenomena alam El Nino sudah beberapa kali terjadi di Indonesia. Tercatat tahun 2015, El Nino terjadi dengan intensitas kuat, empat tahun kemudian, di tahun 2019 kembali terjadi meski dengan intensitas lemah.
Dalam ilmu 'petung Jawa', ada hitungan 'windu'. Satu windu terdapat 8 tahun yg masing-masing memiliki nama tersendiri yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakhir. Sedangkan setiap 8 tahun berganti windu dan dalam 4 windu yakni Windu Adi, Kuntara, Sengara dan Windu Sancaya.
Dalam satu windu ada 2 kali siklus 4 tahunan, dimana dalam 4 tahunan itu terdapat satu tahun basah dan satu tahun kering. Nah, dalam satu tahun kering itulah terjadi fenomena yang dijaman modern disebut fenomena El Nino. Hal ini cocok dengan catatan BMKG, dimana El Nino terjadi dalam skala empat tahunan, tahun 2015, 2019, dan sekarang 2023.
Dalam serat sastra jawa kuno Serat Sastra Gatoloco, yang berbentuk kesenian 'suluk', adalah primbon berisi tentang ramalan kehidupan manusia dari lahir sampai mati. Selain siklus kehidupan manusia, Serat Gatoloco juga memuat siklus perubahan alam. Orang jawa menganut ilmu 'titen' yaitu 'niteni' (mengamati) gejala perubahan alam yang terjadi.
Siklus akan terulang 8 tahun sekali sesuai dengan urutan tahun. misalnya tahun 2021 memiliki nama tahun 'Ehe' mengalami musim murah air. Pada tahun 'Je Windu Sengara' maka curah hujan akan tinggi.
Membahas ilmu 'petung Jawa' memang tidak mudah, karena sangat 'njlimet' (cermat dan teliti). Tulisan ini memang belum seberapa, hanya sedikit sekali dari luas dan dalamnya ilmu Jawa. Leluhur memang telah merumuskan segala hal tentang alam dan kehidupan secara detail dan akurat.
Ilmu 'petung jawa' dan 'pranata mangsa' dirumuskan oleh leluhur kita untuk upaya mitigasi keadaan/cuaca sulit yang harus dihadapi. Salah satu implementasi nyata adalah budaya 'lumbung pangan'. Suatu budaya yang sekarang sudah sangat jarang ditemukan di desa-desa wilayah Gunungkidul. Saat ini, lumbung pangan lebih bersifat milik pribadi, sedangkan pada jaman dulu keberadaan lumbung bersama adalah wujud dari kerukunan sosial warga desa.
'Pranata mangsa' juga wujud dari hasil kebudayaan agraris masyarakat Jawa. Budaya pertanian 'adiluhung' yang menempatkan alam sebagai ruang hidup bersama yang harus selalu dirawat dan dijaga kelestariannya untuk diwariskan kepada anak cucu nanti.
Dengan keadaan krisis iklim global yang terjadi saat ini, alangkah baiknya kita kembali mengulik dan belajar kembali ilmu warisan leluhur. Dengan itu, langkah dan sikap yang kita ambil akan mempertimbangkan hitungan 'petung jawa' dan kearifan lokal sebagai salah satu referensi, sehingga dampak kerusakan alam tidak semakin buruk.