Manfaat Mlanding, Cikru dan Sejarah Jaman Gaber

Kelvin Kahimpong
0
Manfaat Mlanding, Cikru dan Sejarah Jaman Gaber


Kuliner(lainsisi.com)-- Petai Cina (Leucaena Leucocephala) adalah tanaman perdu yang hidup berkoloni di kawasan tropis. Bagi masyarakat pedesaan, tanaman satu ini pasti tidak asing. Biasa tumbuh di pagar pekarangan atau 'galengan' (pematang) ladang-ladang petani. Petai Cina memiliki banyak nama di berbagai daerah, seperti lamtoro, lamtoro gung atau petai selong. Sementara di Kabupaten Gunungkidul lazim disebut mlanding atau manding.

Ada tiga klasifikasi jenis mlanding di Gunungkidul, yakni mlanding jawa, mlanding sabrang dan mlanding lamtoro gung. Mlanding jawa dan sabrang relatif lebih kecil baik batang pohon, daun ataupun buah polongnya. Sementara lamtoro gung ukurannya lebih besar, sehingga sering menjadi pilihan petani untuk ditanam.

Manfaat tumbuhan ini sangat beragam. Daun untuk pakan ternak, batang dan dahan untuk kayu bakar, sementara buahnya dimanfaatkan untuk berbagai macam kuliner tradisional. Ada cerita menarik di Gunungkidul tentang 'cikru' atau tunas biji manding yang baru tumbuh dengan kisah Jaman Gaber. Sebuah jaman 'larang pangan' (krisis pangan) yang pernah melanda Kabupaten Gunungkidul.

Manding untuk kuliner


Manding kerap menjadi bahan andalan dalam berbagai hidangan. Mulai dari sambal goreng pedas, botok gurih, hingga oseng-oseng yang memikat selera. Manding selalu memberikan sentuhan unik pada masakan. Meskipun disebut 'petai', jangan bayangkan aroma yang kuat seperti petai biasa. Sebaliknya, Petai Cina menawarkan aroma lembut, mirip dengan kacang polong. Keunikan ini memberikan dimensi baru pada cita rasa yang dihasilkan.

Buah manding yang masih muda sering dijadikan lalapan. Biji buah yang masih hijau segar dijadikan salah satu campuran dari 'trancam', bersama kacang panjang dipotong kecil-kecil, cabai dan kecambah. 'Trancam' biasanya dijadikan lauk untuk nasi 'wudhuk' dan 'ingkung'.

Biji buah manding yang sudah tua berwarna kecoklatan digunakan sebagai bahan pembuatan tempe sebagai alternatif pengganti tempe kedelai.

Manfaat kesehatan

Sementara itu, mlanding lamtoro tidak hanya berperan sebagai bintang dapur, tetapi juga menyimpan manfaat kesehatan luar biasa. Kandungan zat anti inflamasi membuatnya menjadi pilihan sederhana dalam pengobatan luka. Sering terjadi petani terkena luka kecil waktu bekerja di ladang, tekena sabit atau yang lain. Nah, tunas (pucuk) daun manding kemudian dikunyah untuk kemudian ditempelkan pada luka.

Metode sederhana ini diyakini dapat membantu proses penyembuhan. Penelitian lebih lanjut, seperti yang diungkapkan oleh Marissa Herani Praja dan Rasmi Zakiah Oktarlina dari Universitas Lampung dalam "Uji Efektivitas Daun Petai Cina (Leucaena glauca), sebagai Anti inflamasi Dalam Pengobatan Luka Bengkak," menunjukkan hasil positif terkait efektivitas pengobatan tradisional ini.

Sejarah Cikru Manding dan Jaman Gaber

Manding lamtoro berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah, mengikuti jejak panjang sejarah. Penjajah Spanyol membawa biji tanaman ini ke Filipina pada akhir abad ke 16. Dari sana, lamtoro menyebar ke berbagai belahan dunia. Tanaman ini tumbuh subur sebagai peneduh tanaman kopi, penyedia kayu bakar, serta sumber pakan ternak yang cepat tumbuh.

Kemampuannya beradaptasi dengan mudah membuat lamtoro merajai berbagai daerah tropis di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia. Jejak eksotis ini menjadi bagian dari sejarah yang mencatat keberhasilan lamtoro sebagai tanaman yang tak hanya memberikan manfaat kuliner tetapi juga berperan dalam ekologi dan keberlanjutan.

Di Kabupaten Gunungkidul, petai cina atau manding adalah alternatif tanaman di lahan gersang sesuai karakteristik wilayahnya. Manding ditanam sebagai salah satu strategi masyarakat petani di Gunungkidul untuk bertahan hidup di lahan-lahan berbatu yang kritis.

Tidak ada catatan resmi kapan manding mulai ditanam di Gunungkidul. Tapi bisa dipastikan sejarah manding di Gunungkidul sudah cukup lama. Keberadaan manding juga sudah menjadi bagian budaya masyarakat Gunungkidul. Dibuktikan dengan banyak ragam olahan kuliner berbahan manding yang menjadi masakan tradisional.

Manding juga pernah menjadi saksi sejarah di Bumi Handayani. Sejarah mencatat, di tahun 1963 Kabupaten Gunungkidul pernah dilanda krisis pangan yang disebut sebagai 'Jaman Gaber'. Sebuah jaman sulit yang konon katanya hujan tidak turun selama hampir dua tahun.

Petani gagal panen dan hama tikus meraja lela yang menyebabkan terjadi 'larang pangan' (krisis pangan). Pada waktu bencana ini melanda, 'cikru' (tunas) manding yang baru tumbuh menjadi salah satu penyelamat bagi banyak warga desa.

Setelah masa kekeringan lewat dan hujan mulai turun, Cikru manding tumbuh luar biasa. Cikru ini kemudian dikumpulkan untuk dikonsumsi sebagai alternatif pangan warga Gunungkidul sehingga tetap bisa bertahan melewati masa-masa sulit Jaman Gaber.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Now
Ok, Go it!