Melawan El Nino dengan Nyadran Serabi Kocor

Budaya(lainsisi.com)-- "Kedahe sakniki sampun mangsa kanem, ning niki tasih garing (harusnya sekarang sudah musim ke enam , tapi ini masih kering)", begitu kalimat lirih yang diucapkan oleh Mbah Warsito. Lelaki paruh baya yang saya temui di Sendang Beji. Ia adalah salah satu pemangku adat Padukuhan Gading 5, Kalurahan Gading, Kapanewon Playen, Gunungkidul.
Pada hari Jumat Legi, tanggal 1 Desember 2023 kemarin, di wilayah Kalurahan Gading diadakan upacara adat Nyadran Serabi Kocor. Salah satu ritual turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat desa di Gunungkidul sebagai wujud doa dan ikhtiar meminta hujan.
"Pangapunten niki kahanane tiyang tani. Salong pun bacut nibakke winih. Lha nak gek mboten jawah, winih ingkang tuwuh nggih mati garing, sing dereng tuwuh bacut gapuk (entahlah ini keadaan petani. Beberapa sudah menanam benih. Terus hujan tidak turun, bibit yang sudah tumbuh mati kering, yang belum tumbuh akhirnya lapuk)," begitu lanjut Mbah Warsito.
Kegelisahan petani terhadap musim yang tak menentu sejatinya adalah kegelisahan masyarakat dunia terhadap perubahan iklim global saat ini. Sebuah keadaan yang nantinya akan berujung pada krisis pangan dan lingkungan yang akan semakin parah.
Anomali cuaca El Nino sebagai salah satu produk perubahan iklim, saat ini masih berpengaruh kuat. BMKG sendiri sudah memberikan 'warning' tentang perubahan musim, khususnya mundurnya musim penghujan yang tentu akan sangat berpengaruh terhadap pola tanam para petani.
Obrolan dengan Mbah Warsito, mengisyaratkan bahwa hitungan kalender musim Jawa, Pranata Mangsa sudah tidak relevan lagi. Padahal, sejak ribuan tahun yang lalu, Pranata Mangsa digunakan oleh masyarakat petani secara turun temurun sebagai pedoman musim tanam mereka. Dengan 'niteni tengara' (memperhatikan tanda) alam sebagai acuan penentuan musim, petani bisa membaca kemudian mengolah 'ibu bumi' (lahan pertanian) mereka.
"Niku nek riyin, lha jaman sakniki pun mboten wonten sing saget ditengeri, sedaya sampun owah(itu dulu, lha kalau jaman sekarang, sudah tidak ada lagi yang bisa dijadikan tanda, semua sudah berubah)", lanjut Mbah Warsito, sambil mempersilahkan saya untuk meminum teh panas yang dihidangkan.
Sejenak kemudian Mbah Putri keluar sambil membawa baki berisi sepiring 'serabi kocor' dan mangkuk berisi 'juruh' (air gula jawa).
"Mangga, dikersakke sak rasa-rasane (mari silahkan dimakan)," begitu Mbah Putri mempersilahkan dengan 'tata krama' halus khas orang Jawa.
'Serabi kocor' adalah makanan berbahan tepung beras bercampur parutan kelapa muda. Cara memasaknya hampir mirip dengan makanan 'apem', hanya bentuk serabi kocor lebih lebar namun tipis. 'Juruh' atau air gula jawa digunakan sebagai kuah saat menyantap serabi kocor, sehingga rasanya manis-manis legit hampir mirip dengan kue 'wingko babat'.
Serabi kocor menjadi menu utama dalam ritual adat 'nyadran'. Selain memang ada beberapa 'ubarampe' yang lain. Pagi itu warga berduyun duyun ke sumber air Beji dan Sendang Mole untuk melakukan upacara adat Nyadran Serabi Kocor.
"Mangsa kanem niku, mangsane tiyang tani sampun dangir pari. Udan nggih kedahe sampun samben dinten, ning kok.tahun niki pangapunten jawahe angel (musim ke enam itu, adalah musim petani menyiangi padi. Biasanya hujan juga sudah turun setiap hari, tapi kok tahun ini hujan tidak seperti biasa)," lanjut Mbah Warsito sambil menghisap rokok kreteknya.
Melihat keadaan yang tidak biasa ini, menurut Mbah Warsito, beberapa 'sesepuh' (pemangku adat) kemudian berembuk untuk melaksanakan upacara adat Nyadran Serabi Kocor. Hari yang dipilih juga sudah ditentukan turun temurun, yakni Jumat Legi.
Hujan yang tak kunjung turun merata di sebagian besar wilayah Gunungkidul, memang membuat keadaan petani tidak menentu. Bahkan, banyak petani yang sudah terlanjur 'nibakke winih' (menabur benih), dengan cara 'ngawu-awu' (sistem tanam dalam posisi lahan kering). Saat hujan tiba, benih terlanjur tumbuh, dan saat hujan menghilang, tunas-tunas kemudian layu, mengering dan mati.
"Ditelaske semut, manuk kalih dikuriki kethek (dimakan semut, burung dan monyet)", begitu kata Hermanto, petani warga Kalurahan Petir, Kapanewon Rongkop beberapa waktu lalu.
Di penghujung tahun 2023 ini, memang merupakan hari-hari penantian tidak menentu bagi masyarakat petani. Akronim Desember sebagai 'gede-gedene sumber', untuk tahun ini seperti sebuah ironi.
Cuaca panas, mendung yang kadang berarak dengan cepat hilang tertiup angin. 'Gelegar 'gludhuk (guntur) yang kadang terdengar di kejauhan membuat keadaan alam semakin terasa misterius dan harapan para petani semakin 'nglangut' (sepi, tak menentu).
"Nyadran menika namung ikhtiar mas, nyenyuwun dumateng Gusti, mugi enggal paringi jawah, lan saget berkahi sedayanipun (upacara Nyadran ini hanya ikhtiar mas, berdoa dan meminta kepada Tuhan, semoga segera diturunkan hujan dan bisa bermanfaat untuk semuanya)," lanjut Mbah Warsito.
Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam tak terkendali dari manusia memang terus terjadi. Aktivitas ekonomi dengan energi bahan bakar fosil juga terus menyumbang polusi berupa emisi karbon dalam skala yang masif. Dua hal inilah yang menjadi tersangka pemanasan global (global warming) penyebab perubahan iklim yang sekarang terjadi.
Keadaan bumi sebagai ruang hidup bersama semakin terancam kelestariannya. Keadaan ini, mau tidak mau membuat kita harus berpikir ulang, bagaimana menyelamatkan kehidupan. Salah satu yang bisa kita kelola kembali adalah pemikiran dan aksi berbasis 'local wisdom' (kearifan lokal). Ilmu warisan leluhur yang nyatanya sudah sangat sempurna dalam ritus menjaga alam, keseimbangan hayati dan keberlangsungan (sustainability).
"Nggih namung ikhtiar, sedaya wangsul dumateng kersaning Gusti. Mugi gek jawah, nek tiyang tani mboten saget panen, gek ajeng pripun, da ajeng mangan napa? (Ya hanya sekedar ikhtiar mas, semua kembali kepada Tuhan. Semoga segera turun hujan. Kalau petani tidak panen terus bagaimana, mau makan apa?)", pungkas Mbah Warsito mengakhiri obrolan kami dengan sebuah pertanyaan yang menggantung.